BILA SELAMA INI hati kita telah berselimut karat, sehingga nama Tuhan pun nyaris
seperti hilang. Kehidupan kita selama ini telah menjauh dari segala hubungan
dengan Tuhan, maka sekarang adalah waktu terbaik untuk kita membuka mata hati
dengan mengingat kembali kebesaran Tuhan. Mensyukuri segala karunia-Nya yang
telah menciptakan kita dengan segala kebaikan. Tuhan telah menjadikan kita dari
seorang bayi yang sangat lemah dalam kandungan menjadi seorang manusia yang
sehat, kuat dan memiliki banyak kelebihan. Sudah sepantasnya jika dalam
kehidupan ini kita banyak bersyukur dengan mengabdi kepada Tuhan.
Bila selama ini karena segala kesibukan kita, orang tua kita terasa terlupakan. Pengorbanan orangtua kita yang telah membesarkan dan mendidik kita, dari mulai kecil sampai dewasa, terasa seperti tak berbekas, kini saatnya kita membuka mata hati. Ini adalah waktu terbaik untuk kita merajut kembali hubungan dengan orangtua kita. Saatnya kita bersimpuh dan merangkai bakti kepada kedua orangtua kita. Kita jadikan bakti kita kepada kedua orangtua, sebagai balas budi atas kebaikan mereka. Kita pun hendaknya senantiasa berusaha untuk membahagiakan orangtua kita. Meskipun tidak mungkin membalas semua kebaikan orangtua, tapi setidaknya kita telah berusaha berbakti kepada mereka.
Bila selama ini banyak perilaku kita telah menyakiti orang lain, entah karena sebab perbedaan kelompok, organisasi, atau karena persaingan, kini saatnya kita untuk membuka mata hati. Kita harus menyadari bahwa kita semua adalah sesama manusia yang menghendaki kebahagiaan dalam hidup ini. Alangkah mulianya jika kita meminta maaf atas kesalahan karena telah menyakiti orang lain. Sudah seharusnya kita menghilangkan pertentangan dan permusuhan yang ada, untuk menguatkan kebersamaan dan persaudaraan. Kita kuatkan jalinan persahabatan untuk meningkatkan karya yang memberi manfaat bagi masyarakat luas. Musuh satu rasanya sudah terlalu banyak, kawan seribu rasanya masih terasa kurang.
Cobalah kita melihat sekeliling kita. Betapa banyak sesama anak negeri yang belum beruntung nasibnya. Meski mereka sama-sama pemilik negeri ini, tapi mereka belum menikmati kesejahteraan. Mereka masih belum menikmati buah kemerdekaan dan pembangunan. Hidup mereka masih diliput kemiskinan dan kesengsaraan. Sudah seharusnya kita ikut memperhatikan nasib mereka. Kita buka mata hati kita dengan peduli akan nasib mereka. Sisihkan sebagian kepedulian kita untuk membantu sesama. Mari bantu mereka dengan apa yang mungkin kita bisa berikan. Setiap perhatian dan kepedulian kita akan sangat berarti bagi mereka. Saatnya bagi mereka untuk hidup lebih baik melalui perhatian dan bantuan kita.
Jika sebelum ini, kita lebih banyak menggunakan mata fisik (mata yang ada di wajah kita) untuk melihat, tiba saatnya kini kita menggunakan mata hati kita untuk memandang. Mata fisik bersifat formal dan permukaan, sedangkan mata hati bersifat batin dan mendalam. Mata hati kita dapat mendengar bahasa kalbu yang tak terlihat secara kasat. Mata hati kita akan mampu menyelami perasaan orang-orang yang terpuruk dalam kehidupan. Mata hati kita akan mampu bersimpati terhadap derita sesama. Mata hati kita akan membangunkan empati terhadap sebagian saudara kita yang hidup dalam kemiskinan dan kekurangan. Seandainya mata hati kita telah dibuka dengan baik, maka yang kita lihat bukan hanya jasad ragawi dari manusia yang ada di sekitar kita, tetapi juga gurat pilu dan rintih derita yang dirasakan oleh mereka. Kini, saatnya kita untuk membuka mata hati.
Bila selama ini karena segala kesibukan kita, orang tua kita terasa terlupakan. Pengorbanan orangtua kita yang telah membesarkan dan mendidik kita, dari mulai kecil sampai dewasa, terasa seperti tak berbekas, kini saatnya kita membuka mata hati. Ini adalah waktu terbaik untuk kita merajut kembali hubungan dengan orangtua kita. Saatnya kita bersimpuh dan merangkai bakti kepada kedua orangtua kita. Kita jadikan bakti kita kepada kedua orangtua, sebagai balas budi atas kebaikan mereka. Kita pun hendaknya senantiasa berusaha untuk membahagiakan orangtua kita. Meskipun tidak mungkin membalas semua kebaikan orangtua, tapi setidaknya kita telah berusaha berbakti kepada mereka.
Bila selama ini banyak perilaku kita telah menyakiti orang lain, entah karena sebab perbedaan kelompok, organisasi, atau karena persaingan, kini saatnya kita untuk membuka mata hati. Kita harus menyadari bahwa kita semua adalah sesama manusia yang menghendaki kebahagiaan dalam hidup ini. Alangkah mulianya jika kita meminta maaf atas kesalahan karena telah menyakiti orang lain. Sudah seharusnya kita menghilangkan pertentangan dan permusuhan yang ada, untuk menguatkan kebersamaan dan persaudaraan. Kita kuatkan jalinan persahabatan untuk meningkatkan karya yang memberi manfaat bagi masyarakat luas. Musuh satu rasanya sudah terlalu banyak, kawan seribu rasanya masih terasa kurang.
Cobalah kita melihat sekeliling kita. Betapa banyak sesama anak negeri yang belum beruntung nasibnya. Meski mereka sama-sama pemilik negeri ini, tapi mereka belum menikmati kesejahteraan. Mereka masih belum menikmati buah kemerdekaan dan pembangunan. Hidup mereka masih diliput kemiskinan dan kesengsaraan. Sudah seharusnya kita ikut memperhatikan nasib mereka. Kita buka mata hati kita dengan peduli akan nasib mereka. Sisihkan sebagian kepedulian kita untuk membantu sesama. Mari bantu mereka dengan apa yang mungkin kita bisa berikan. Setiap perhatian dan kepedulian kita akan sangat berarti bagi mereka. Saatnya bagi mereka untuk hidup lebih baik melalui perhatian dan bantuan kita.
Jika sebelum ini, kita lebih banyak menggunakan mata fisik (mata yang ada di wajah kita) untuk melihat, tiba saatnya kini kita menggunakan mata hati kita untuk memandang. Mata fisik bersifat formal dan permukaan, sedangkan mata hati bersifat batin dan mendalam. Mata hati kita dapat mendengar bahasa kalbu yang tak terlihat secara kasat. Mata hati kita akan mampu menyelami perasaan orang-orang yang terpuruk dalam kehidupan. Mata hati kita akan mampu bersimpati terhadap derita sesama. Mata hati kita akan membangunkan empati terhadap sebagian saudara kita yang hidup dalam kemiskinan dan kekurangan. Seandainya mata hati kita telah dibuka dengan baik, maka yang kita lihat bukan hanya jasad ragawi dari manusia yang ada di sekitar kita, tetapi juga gurat pilu dan rintih derita yang dirasakan oleh mereka. Kini, saatnya kita untuk membuka mata hati.
Penulis: Ahmad Juwaini, Presiden Direktur Dompet Dhuafa
Editor: Setiawan Chogah
0 komentar:
Posting Komentar