Rabu, 02 April 2014

Laboratorium Sosial itu Bernama Galuga

Diposting pada label:




DI BALIK JENDELA angkot yang kami sewa untuk menuju ke SD Negeri Dukuh 2 Galuga terlihat deretan mobil yang tak kunjung jalan. Nampak ember, plastik snack, kertas dan beberapa kardus cukup sesak di dalam angkot. Meski Sabtu itu adalah hari libur, tetap saja banyak mobil harus antre, bergantian lewat di pertigaan pasar Cibatok, Leuwiliang. Bersyukur karena udara pagi Bogor pukul 06.30 WIB masih terasa sejuk. Dan keadaan seperti ini, sedikit pun tidak menyurutkan semangat kami, etoser, untuk bertemu dengan adik-adik di SD Negeri Dukuh 2 yang pastinya sudah siap menunggu kedatangan kami.

Setelah perjalanan hampir 1 jam, kami pun melewati tumpukan sampah yang dihimpun dari seluruh penjuru Bogor, tempat pembuangan akhir sampah Galuga. Artinya, tidak sampai 5 menit lagi kami sampai di lokasi, terlihat juga spanduk yang bertuliskan “Galuga Sehat” di depan gerbang SD Negeri Dukuh 2. Terlihat pula adik-adik yang sudah berlarian-larian di halaman sekolah dengan antusias menyambut kami. Ada beberapa mereka yang berlarian menuju angkot yang kami sewa. Setelah bersalaman, mereka membantu kami membawakan perlengkapan.

Mulailah adik-adik kelas 1 dan 2 berbaris untuk mengawali kegiatan menyenangkan hari itu. Namanya juga anak-anak, tetap saja tidak bisa diam dan selalu penasaran. Terlihat beberapa anak yang selalu menengok ke arah ember dan kertas. Setelah berbaris, siswa kelas 1 dan kelas 2 kami tempatkan pada ruangan yang berbeda.

“Adik-adik sudah hafal?” tanya Kak Anis setelah diajarkan lagu tentang cuci tangan.
“Sudah Kak…” serempak adik-adik menjawab dengan semangat.
“Jadi kalau kita biasa cuci tangan, maka kita akan…?”
“Sehat…” jawab adik-adik.
“Pinter...” sahut Kak Anis. “Ayo saatnya kita bermain air..”
“Asyik…” teriak adik-adik.

Saat itu musim kemarau, memang tidak mudah mendapatkan air di sekitar Kampung Moyan. Kami harus mengambil dengan ember di lebak, sebutan untuk mata air di Galuga. Pengambilan air ini dibantu oleh anak laki-laki kelas 5 dan 6.

“Di luar kelas sudah siap 3 ember besar dan 3 ember kecil. Adik-adik, perhatikan kakak ya, angkat tangannya seperti ini dan masukkan ke sini,” kata kak Lina menunjuk ember kecil.

Sontak adik-adik kaget karena tangan Kak Lina jadi berwarna oranye.
“Apa itu, Kak?” tanya Agus.
“Ini cat air, setelah ini tempelkan tangan kertas ini, jadi deh ada gambar tangan kalian.”
“Saya Kak… saya Kak… saya Kak...” celetuk banyak anak hampir berebutan.
“Iya, nanti gantian. Tangan kakak kan kotor, lalu dicuci deh dengan sabun di sini,” lanjut Kak Lina dengan sabar.

Kemudian dengan semangatnya, adik-adik bergantian untuk memasukkan tangan ke cat, membuat cap tangan dan cuci tangan pakai sabun. Di ruang lain, adik-adik kelas 2 sedang asyik nonton film tentang cuci tangan dan kebersihan lingkungan.

“Kalau nanti pulang ke rumah, dan adik semua mau makan, harus..?”
“Cuci tangan pakai sabun, Kak...” jawab adik-adik.
“Supaya apa?”
“Kumannya hilang, Kak….”

Kegiatan ini diharapkan mampu memberikan pengalaman kepada anak-anak untuk membiasakan diri berperilaku hidup sehat setiap hari. Kegiatan ditutup dengan gembira dan adik-adik memperoleh snack sebelum pulang.

***

Sampah, cukup identik ketika kita mendengar Desa Galuga. Sebagai tempat pembuangan akhir (TPA) sampah untuk wilayah Bogor, hampir 80% masyarakat Galuga memiliki penghidupan yang berkaitan dengan sampah dan mayoritas mereka menjadi pemulung. Tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat tergolong rendah. Hal tersebut memengaruhi pula kebiasaan mereka dalam memelihara kesehatan lingkungan maupun area personal mereka.

Pemahaman mereka terhadap kesehatan yang rendah terlihat dari beberapa perilaku di keseharian mereka. Jenis makanan yang dikonsumsi setiap hari belum menunjukkan bagaimana mereka paham akan asupan gizi. Apalagi banyak makanan yang dijual di kampung terlihat tidak sehat, misalnya minuman dingin dengan pemanis buatan, penggunaan minyak goreng berkali-kali, makanan dengan pewarna buatan dan tempat pembuatan makanan yang kurang bersih. Di sisi lain, kondisi geografis mengakibatkan kesulitan air bersih ketika musim kemarau tiba.

“Jika kita selalu membiarkan anak kita jajan sembarang, maka akan menyebabkan banyak penyakit, dari diare hingga kanker,” kata Alna Tohari sebagai pembicara pada penyuluhan gizi dan kesehatan yang kami selenggarakan suatu waktu di Galuga. Melalui penyuluhan ini warga dapat mendapatkan informasi tentang bagaimana mereka menjaga pola dan menu konsumsi setiap hari. Sekitar 80 warga menghadiri penyuluhan ini dan mereka cukup antusias dengan materi yang disampaikan oleh pembicara.

***

Dua cerita di atas adalah bagian dari program Sekolah Desa Produktif (SDP) kami, etoser IPB, di Desa Galuga. Kebersihan adalah hal yang memang penting setelah pendidikan di sana. Letak geografis yang amat dekat dengan TPA sampah harus mengaitkan dengan kesadaran akan kebersihan dan kesehatan.

Desa Galuga terkenal sebagai dua ikon yaitu “sampah” dan “ayam bakar”, dua hal yang sangat bertentangan. Sampah memang menjadi ikon yang lebih melekat untuk Desa Galuga. Sebagai TPA sampah, maka dapat dibayangkan bahwa desa ini bukan tergolong desa yang bersih. Persoalan yang dihadapi desa ini lebih dekat dengan permasalahan lingkungan dan kesehatan. Melihat dari sisi yang lain, bahwa TPA memberikan kesempatan kerja bagi warga sekitarnya, meski mereka harus bekerja dengan pola hidup yang tidak sehat. Kelemahan kesempatan ini adalah tidak memberikan dorongan masyarakat untuk berkembang, setidaknya terdapat dua hal yang mengganjal mereka yaitu penghasilan yang terbatas dan pola pikir yang terpasung oleh lingkungan sosialnya. Meski demikian, tumpukan sampah ini sesungguhnya menyimpan potensi yang sangat besar.

Berdasarkan data monografi desa tahun 2009, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan masyarakat Galuga rendah terlihat dari prosentase masyarakat yang tamat SD/sederajat yang mencapai 24,77%. Berdasarkan tingkat pendidikan dasar 9 tahun, prosentasenya menjadi 34,53%. Selain itu, masyarakat yang tamat SMA/ sederajat hanya 5,63%. Warga yang mengenyam pendidikan perguruan tinggi hanya 0,68% dan 0,33% yang menyelesaikan sarjana (S1). Terbatasnya aksesibilitas masyarakat dikarenakan persoalan ekonomi dan belum terbukanya wawasan mengenai pendidikan. Mata pencaharian petani merupakan jenis pekerjaan dengan prosentase tertinggi di Galuga yaitu 46% dan buruh tani mencapai 10,82%. Prosentase pekerjaan sektor informal hanya 27,05% yang meliputi pengusaha kecil-menengah, pengrajin industri rumah tangga, pembantu rumah tangga, montir, pedagang keliling, peternak, seniman dan jasa pengobatan.

Oleh karena itu, dari tiga desa di Kabupaten Bogor yang telah kami survei, Galuga terpilih sebagai desa yang kami jadikan tempat pelakasanaan program sosial kami, SDP. Di tahun 2010, program pun mulai bergulir. Kami pun merumuskan program dengan membuat silabus sebagai arahan jelas kurikulum pembinaan.

Dalam tahap persiapan, selaku orang yang akan mengajar bagi siswa-siswi SD Negeri Dukuh 2, kami pun melakukan pelatihan mengajar terlebih dahulu. Kami mengikuti Pelatihan dasar Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif Efektif dan Menyenangkan (PAIKEM). Pelatihan tersebut merupakan salah satu bagian pengembangan kapasitas tim SDP.

PAIKEM ini biasanya diperuntukkan kepada etoser yang baru. Pemateri berasal dari trainer Sekolah Guru Indonesia (SGI) Dompet Dhuafa. Berlatar belakang bukan dari fakultas atau jurusan keilmuan pendidikan, wajar jika kami sesekali mengalami kesulitan dalam menyampaikan materi belajar bagi anak-anak SD. Namun bagaimanapun, PAIKEM menjadi amat bermanfaat bagi kami sebagai bekal sebelum terjun langsung di lapangan.

Hadirnya program SDP mampu memberikan pembelajaran bagi kami sebagai seorang pengajar. Hal tersebut agar kami menciptakan pembelajaran yang kreatif. Juga meningkatkan keterampilan kami dalam motode pembelajaran penguasaan kelas dan meningkatkan pengetahuan tentang pendekatan kreatif terhadap anak dampingan serta memastikan bahwa materi dapat diterima dengan baik oleh murid-murid. Metode pelatihan tidak hanya sekadar caramah, tetapi dilengkapi dengan proses praktik mengenal alat peraga dan micro teaching.

Program bidang pendidikan SDP di Desa Galuga berupaya menjaga peluang bagi anak keluarga dhuafa mampu melanjutkan jenjang pendidikannya. Di sisi lain, program pendampingan belajar diharapkan dapat meningkatkan prestasi akademik, non-akademik dan kreativitas siswa, serta menanamkan pendidikan perilaku dan akhlak yang baik. Dengan demikian, kualitas sekolah yang kurang optimal dapat diperkuat oleh model pembinaan pembelajaran dari SDP, sehingga mereduksi probabilitas siswa putus sekolah.

Kami amat bersyukur bisa menjadi penerima manfaat beasiswa etos Dompet Dhuafa. Kami tidak hanya sekadar menerima beasiswa semata, tetapi kami juga belajar untuk berkontribusi kepada masyarakat melalui program SDP. Memberdayakan masyarakat memang tidak ada dalam kurikulum kampus. Memberdayakan masyarakat tidak diajarkan di kelas. Kami memang harus turun langsung menghadapi masyarakat. Learning by doing, kami mengasah kepekaan dan kedewasaan kami.

Galuga menjadi sebuah laboratorium sosial bagi kami para etoser IPB. Kami belajar banyak hal, salah satunya belajar bagaimana berkomunikasi kepada masyarakat. Polanya jelas tidak sama. Bahkan, antara satu masyarakat dengan masyarakat lain niscaya berbeda. Kami meyakini, ini adalah investasi jangka panjang kami selaku calon pemimpin di masa depan.

Di satu titik, Galuga menjadi tempat kami mengisi kembali semangat di saat penat muncul lantaran aktivitas di kampus yang terkadang menguras energi. Semangat kami kembali menyala saat bertemu anak-anak binaan kami di Galuga. Senyuman dan semangat mereka dalam belajar seakan men-charge “baterai” diri kami. Sabtu menjadi hari yang kami tunggu-tunggu. Betapa nikmatnya bisa berbagai. Alangkah nikmatnya bisa menginspirasi anak-anak di Galuga.

Kami akui, program sosial kami tersebut belum bisa dikatakan sepenuhnya sempurna. Ketika perencanaan memang sudah baik. Namun, tetap saja. Di lapangan kerap menemui aspek-aspek lain yang di luar perkiraan. Tingkat pendidikan warga di sana yang minim amat mempengaruhi daya terima program. Salah satu contohnya adalah menyatukan persepsi terkait program. Nyatanya, persepsi masyarakat belum sejalan dengan persepsi kami. Namun, kami anggap semua itu adalah dinamika yang niscaya ditemui di setiap interaksi dengan masyarakat. Sebab, memberdayakan masyarakat adalah pembelajaran yang tidak akan pernah selesai. Dengan begitu, kami pun tidak jemu untuk senantiasa belajar, memahami masyarakat, dan merumuskan strategi yang tepat. Memberdayakan masyarakat memang bukan layaknya pelajaran eksak di mana satu ditambah satu sama dengan dua. Dinamika akan selalui kami temui. Dari sinilah, kami sekali lagi, amat bersyukur menjadi salah satu penerima beasiswa etos Dompet Dhuafa.


Penulis: Abdul Rahman (Fakultas Peternakan IPB 2011) dan Ilham Marvie (Fakultas Teknologi Industri      Pertanian IPB 2012)

Editor: Yogi Achmad/ Chogah


0 komentar:

Posting Komentar

Berita Terbaru