Oleh: Parni Hadi
“New York, New York, here I come back again!”. Ya, itulah yang ada dalam hati saya, walau tidak sempat terucap, ketika menginjakkan kaki kembali di New York pada 27 Mei. Ini kunjungan saya yang kesekian kalinya, setelah yang pertama pada akhir 1978.
New York adalah kota impian untuk dikunjungi banyak orang dari seluruh dunia. Sebagian orang menyebutnya pusat dunia karena hampir semuanya yang dianggap top sedunia ada di kota ini.
Sebagian lagi menyebutnya pusat kapitalisme karena pusat perdagangan saham dan mata uang dunia, WallStreet, ada di sini. New York juga dianggap “a city that never sleeps” atau kota yang tak pernah tidur, seperti bunyi lirik lagu “New York, New York” yang dinyanyikan Frank Sinatra.
Tak sedikit pula yang menyebut New York pusat harapan bagi manusia karena Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terletak di kota ini. Suka tidak suka, mau tidak mau, nasib dunia ditentukan di gedung pencakar langit di kawasan Manhattan itu.
Para wakil bangsa-bangsa sedunia memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) atas kemerdekaan, keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian sejak PBB berdiri pada 1945. Gedung utama PBB di New York yang berlantai 39 itu dibangun pada 1949 dan selesai pada 1951. Sebelumnya, kantor PBB ada di London.
Konferensi Zakat Internasional
Kedatangan saya yang pertama di New York 36 tahun lalu untuk meliput kunjungan menteri riset dan teknologi (menristek) sewaktu itu, BJ Habibie, yang menjajaki kerja sama dengan pusat-pusat keunggulan iptek Amerika Serikast (AS).
Kali ini, saya datang sebagai pendiri dan Ketua Dewan Pembina Dompet Dhuafa (DD) untuk menghadiri Konferensi World Zakat Forum (WZF) selama dua hari, mulai 28 Mei.
Tiba-tiba saya tersentak oleh kesadaran, bahwa hari kedatangan dan tujuan kunjungan kali ini berkaitan erat dan sangat penuh makna.
Tanggal 27 Mei bertepatan dengan 27 Rajab, menurut penanggalan Islam. Hari itu, kaum muslim sedunia, termasuk di Indonesia, memperingati Isra Mikraj Nabi Besar Muhammad Saw.
Pada malam 27 Rajab, Allah memperjalankan Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, lalu naik ke Arasy untuk menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah. Dalam kesempatan itu, seperti dikisahkan dalam Alquran, Muhammad mendapat perintah mendirikan salat.
Alquran menyebut beberapa kali perintah mendirikan shalat itu yang langsung diikuti perintah menunaikan zakat. Sementara itu, tema konferensi WZF ini adalah “Zakat for Global Welfare” atau “Zakat untuk Kesejahteraan Dunia”. Jadi menurut saya, klop. Konferensi ini berlangsung sehari setelah peringatan Isra Mikraj di New York, tempat Markas Besar PBB, dan mengupayakan kesejahteraan umat manusia sedunia dengan zakat.
Sekitar 60 pakar, pengamat, dan pengurus organisasi zakat sedunia dari sepuluh negara diundang hadir dan bicara dalam konferensi ini. Mereka berasal dari Afrika Selatan, Sudan, Albania, Bosnia, Yaman, Pakistan, India, Malaysia, Indonesia, dan AS.
Konferensi ini diprakarsai BAZNAS dan DD, bekerja sama dengan The Nusantara Foundation, New York, di bawah pimpinan Ustaz Shamsi Ali, asal Sulawesi Selatan, yang sudah bermukim dan berdakwah di AS selama 16 tahun. Nusantara Foundation didirikan DD dan Ustaz Shamsi Ali, yang juga pemimoin Masjid Indonesia Al Hikmah, New York.
Terungkap dalam konferensi itu, potensi zakat umat Islam sedunia sangat besar. Jika dikelola secara amanah atau profesional, zakat bisa menjadi sarana ampuh bagi kesejahteraan umat manusia sedunia.
Sebagai contoh, menurut data BAZNAS, potensi zakat Indonesia per tahun kini Rp 270 triliun. Sampai sekarang yang sudah terkumpul dan dikelola sejumlah lembaga amil zakat Indonesia, termasuk DD, barulah 1 persen.
Konferensi itu menjadi ajang pertukaran informasi dan pengalaman, saling belajar dan memupuk kerja sama persaudaraan muslim sedunia lintas bangsa. Semuanya sepakat, perlu penetapan standar profesionalisme dalam pengelolaan zakat untuk penerapan sistem ekonomi syariah.
Secara aklamasi, Ahmad Juwaini, Dirut DD Filantrofi, dipilih menjadi Sekjen World Zakat Forum untuk periode 2014-2017, menggantikan Ustaz Profesor Didin Hafifuddin dengan kantor sektretariat tetap di Jakarta.
Mengharukan mendengar cerita dua tokoh muslim Afrika-Amerika, Imam Talib A Rashid dan Sheik T Bashir. Keduanya keturunan Afrika hitam yang mengatakan kaum muslim di AS sebagai “a visible, but hidden minority” atau “tampak, tapi (tetap sebagai) minoritas tersembunyi.” Maksudnya, mereka belum menikmati kebebasan seperti warga AS pada umumnya.
“To build the World Anew”
Mendengar ungkapan mereka, saya langsung teringat pidato Presiden Soekarno di sidang umum ke-15 PBB pada Jumat, 30 September 1960, di Markas Besar PBB. Ia menyerukan perdamaian dan persaudaraaan antarbangsa dengan judul “To Build the World Anew (Membangun Dunia Baru)”. Waktu itu, dunia sedang dalam suasana perang dingin antara Blok Barat pimpinan AS dan Blok Timur pimpinan Uni Soviet.
Dalam pidatonya, Bung Karno mengusulkan dasar negara Indonesia, Pancasila, dijadikan dasar Piagam PBB. Ia juga mengusulkan agar markas besar PBB dipindahkan dari New York ke tempat yang netral, Asia atau Afrika. Luar biasa percaya diri presiden pertama kita itu.
Bung Karno menggunakan kesempatan itu untuk kepentingan nasional Indonesia dan dunia sekaligus. Kepentingan Indonesia yang diperjuangkan adalah kembalinya Irian Barat (sekarang Papua) dari cengkeraman penjajah Belanda ke pangkuan Ibu Pertiwi, Indonesia.
Sementara itu, kepentingan dunia yang diperjuangkan adalah merukunkan Blok Barat dan Blok Timur dengan menyerukan Presiden AS Eisenhower dan Perdana Menteri Uni Soviet Kruschev untuk bertemu.
Soekarno waktu itu ditunjuk mewakili lima negara yang kemudian menjadi pendiri Gerakan Nonblok, yakni Ghana, India, Mesir, Yugoslavia, dan Indonesia.
“Build the world anew. Build it solid and strong and sane. Build that world in which all nations exist in peace and brotherhood. Build the world fit for the dreams and the ideals of humanity,” seru Bung Karno lantang.
Irian Barat telah berhasil masuk pangkuan RI, sedangkan dunia baru tempat seluruh bangsa hidup dalam perdamaian dan persaudaraan serta cocok untuk mimpi-mimpi dan tujuan-tujuan kemanusiaan , terutama keadilan di bidang ekononomi antarbangsa yang masih harus diperjuangkan sampai sekarang.
Ah, tiba-tiba di New York saya mengingat pemilihan presiden (pilpres) di Indonesia dan sangat rindu munculnya pemimpin baru yang penuh percaya diri, disegani dunia, dan berjuang untuk HAM seperti Soekarno. Karena itu, ketika diminta menutup konferensi itu, saya menimba semangat Bung Karno dan meminjam kata-katanya.
“Here, now, we are building the world anew with zakat,” begitu saya katakan dalam upacara penutupan pada 29 Mei malam, berlangsung di 42nd Street, Manhattan, tempat kantor Nusantara Foundation, tak jauh dari Markas Besar PBB. [*]
New York adalah kota impian untuk dikunjungi banyak orang dari seluruh dunia. Sebagian orang menyebutnya pusat dunia karena hampir semuanya yang dianggap top sedunia ada di kota ini.
Sebagian lagi menyebutnya pusat kapitalisme karena pusat perdagangan saham dan mata uang dunia, WallStreet, ada di sini. New York juga dianggap “a city that never sleeps” atau kota yang tak pernah tidur, seperti bunyi lirik lagu “New York, New York” yang dinyanyikan Frank Sinatra.
Tak sedikit pula yang menyebut New York pusat harapan bagi manusia karena Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terletak di kota ini. Suka tidak suka, mau tidak mau, nasib dunia ditentukan di gedung pencakar langit di kawasan Manhattan itu.
Para wakil bangsa-bangsa sedunia memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) atas kemerdekaan, keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian sejak PBB berdiri pada 1945. Gedung utama PBB di New York yang berlantai 39 itu dibangun pada 1949 dan selesai pada 1951. Sebelumnya, kantor PBB ada di London.
Konferensi Zakat Internasional
Kedatangan saya yang pertama di New York 36 tahun lalu untuk meliput kunjungan menteri riset dan teknologi (menristek) sewaktu itu, BJ Habibie, yang menjajaki kerja sama dengan pusat-pusat keunggulan iptek Amerika Serikast (AS).
Kali ini, saya datang sebagai pendiri dan Ketua Dewan Pembina Dompet Dhuafa (DD) untuk menghadiri Konferensi World Zakat Forum (WZF) selama dua hari, mulai 28 Mei.
Tiba-tiba saya tersentak oleh kesadaran, bahwa hari kedatangan dan tujuan kunjungan kali ini berkaitan erat dan sangat penuh makna.
Tanggal 27 Mei bertepatan dengan 27 Rajab, menurut penanggalan Islam. Hari itu, kaum muslim sedunia, termasuk di Indonesia, memperingati Isra Mikraj Nabi Besar Muhammad Saw.
Pada malam 27 Rajab, Allah memperjalankan Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, lalu naik ke Arasy untuk menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah. Dalam kesempatan itu, seperti dikisahkan dalam Alquran, Muhammad mendapat perintah mendirikan salat.
Alquran menyebut beberapa kali perintah mendirikan shalat itu yang langsung diikuti perintah menunaikan zakat. Sementara itu, tema konferensi WZF ini adalah “Zakat for Global Welfare” atau “Zakat untuk Kesejahteraan Dunia”. Jadi menurut saya, klop. Konferensi ini berlangsung sehari setelah peringatan Isra Mikraj di New York, tempat Markas Besar PBB, dan mengupayakan kesejahteraan umat manusia sedunia dengan zakat.
Sekitar 60 pakar, pengamat, dan pengurus organisasi zakat sedunia dari sepuluh negara diundang hadir dan bicara dalam konferensi ini. Mereka berasal dari Afrika Selatan, Sudan, Albania, Bosnia, Yaman, Pakistan, India, Malaysia, Indonesia, dan AS.
Konferensi ini diprakarsai BAZNAS dan DD, bekerja sama dengan The Nusantara Foundation, New York, di bawah pimpinan Ustaz Shamsi Ali, asal Sulawesi Selatan, yang sudah bermukim dan berdakwah di AS selama 16 tahun. Nusantara Foundation didirikan DD dan Ustaz Shamsi Ali, yang juga pemimoin Masjid Indonesia Al Hikmah, New York.
Terungkap dalam konferensi itu, potensi zakat umat Islam sedunia sangat besar. Jika dikelola secara amanah atau profesional, zakat bisa menjadi sarana ampuh bagi kesejahteraan umat manusia sedunia.
Sebagai contoh, menurut data BAZNAS, potensi zakat Indonesia per tahun kini Rp 270 triliun. Sampai sekarang yang sudah terkumpul dan dikelola sejumlah lembaga amil zakat Indonesia, termasuk DD, barulah 1 persen.
Konferensi itu menjadi ajang pertukaran informasi dan pengalaman, saling belajar dan memupuk kerja sama persaudaraan muslim sedunia lintas bangsa. Semuanya sepakat, perlu penetapan standar profesionalisme dalam pengelolaan zakat untuk penerapan sistem ekonomi syariah.
Secara aklamasi, Ahmad Juwaini, Dirut DD Filantrofi, dipilih menjadi Sekjen World Zakat Forum untuk periode 2014-2017, menggantikan Ustaz Profesor Didin Hafifuddin dengan kantor sektretariat tetap di Jakarta.
Mengharukan mendengar cerita dua tokoh muslim Afrika-Amerika, Imam Talib A Rashid dan Sheik T Bashir. Keduanya keturunan Afrika hitam yang mengatakan kaum muslim di AS sebagai “a visible, but hidden minority” atau “tampak, tapi (tetap sebagai) minoritas tersembunyi.” Maksudnya, mereka belum menikmati kebebasan seperti warga AS pada umumnya.
“To build the World Anew”
Mendengar ungkapan mereka, saya langsung teringat pidato Presiden Soekarno di sidang umum ke-15 PBB pada Jumat, 30 September 1960, di Markas Besar PBB. Ia menyerukan perdamaian dan persaudaraaan antarbangsa dengan judul “To Build the World Anew (Membangun Dunia Baru)”. Waktu itu, dunia sedang dalam suasana perang dingin antara Blok Barat pimpinan AS dan Blok Timur pimpinan Uni Soviet.
Dalam pidatonya, Bung Karno mengusulkan dasar negara Indonesia, Pancasila, dijadikan dasar Piagam PBB. Ia juga mengusulkan agar markas besar PBB dipindahkan dari New York ke tempat yang netral, Asia atau Afrika. Luar biasa percaya diri presiden pertama kita itu.
Bung Karno menggunakan kesempatan itu untuk kepentingan nasional Indonesia dan dunia sekaligus. Kepentingan Indonesia yang diperjuangkan adalah kembalinya Irian Barat (sekarang Papua) dari cengkeraman penjajah Belanda ke pangkuan Ibu Pertiwi, Indonesia.
Sementara itu, kepentingan dunia yang diperjuangkan adalah merukunkan Blok Barat dan Blok Timur dengan menyerukan Presiden AS Eisenhower dan Perdana Menteri Uni Soviet Kruschev untuk bertemu.
Soekarno waktu itu ditunjuk mewakili lima negara yang kemudian menjadi pendiri Gerakan Nonblok, yakni Ghana, India, Mesir, Yugoslavia, dan Indonesia.
“Build the world anew. Build it solid and strong and sane. Build that world in which all nations exist in peace and brotherhood. Build the world fit for the dreams and the ideals of humanity,” seru Bung Karno lantang.
Irian Barat telah berhasil masuk pangkuan RI, sedangkan dunia baru tempat seluruh bangsa hidup dalam perdamaian dan persaudaraan serta cocok untuk mimpi-mimpi dan tujuan-tujuan kemanusiaan , terutama keadilan di bidang ekononomi antarbangsa yang masih harus diperjuangkan sampai sekarang.
Ah, tiba-tiba di New York saya mengingat pemilihan presiden (pilpres) di Indonesia dan sangat rindu munculnya pemimpin baru yang penuh percaya diri, disegani dunia, dan berjuang untuk HAM seperti Soekarno. Karena itu, ketika diminta menutup konferensi itu, saya menimba semangat Bung Karno dan meminjam kata-katanya.
“Here, now, we are building the world anew with zakat,” begitu saya katakan dalam upacara penutupan pada 29 Mei malam, berlangsung di 42nd Street, Manhattan, tempat kantor Nusantara Foundation, tak jauh dari Markas Besar PBB. [*]
*Penulis
adalah wartawan dan aktivis sosial.
0 komentar:
Posting Komentar