Ahmad Juwaini, Prsiden Direktur Dompet Dhuafa Filatropi saat berdiskusi dengan amil DD Banten. |
Pada umumnya, surat permohonan bantuan itu isinya agak panjang, berhubung hendak menceritakan masalah dan mengajukan bantuan. Tidak sedikit dari surat-surat itu yang ditulis panjang lebar dengan narasi yang memilukan.
Tapi hari itu, datang sebuah surat yang tidak biasanya. Setelah dibuka, isinya ternyata hanya satu kalimat saja. Kalimat itu berbunyi, "Jika diizinkan, saya akan datang ke kantor Dompet Dhuafa. Kita semua yang membacanya tentu merasa heran terhadap surat ini."
Sepanjang sejarah DD, belum pernah ada surat yang isinya seperti itu. Karena itu kemudian, kita segera membalas surat itu dengan jawaban, "Silakan Bapak datang ke kantor Dompet Dhuafa, Pada hari (tertentu), jam (tertentu)."
Pada hari dan jam yang dijanjikan, kita telah menanti tamu yang akan datang. Beberapa saat kemudian masuklah seorang lelaki dengan perawakan pendek dan agak kurus. Kedua tangannya (maaf) putus dari pangkal lengan, dan kedua kakinya seperti pernah mengalami sakit polio (dengan bentuk sedikit agak melengkung).
Menyaksikan kehadiran lelaki tersebut, segeralah kita mengerti mengapa lelaki tersebut menulis surat seperti itu. Rupanya, dia ingin kita melihat saja secara langsung kondisi dirinya. Batinnya mungkin berkata, tak perlulah saya menceritakan panjang lebar, cukuplah Anda lihat sendiri, barulah Anda mengerti apa yang saya maksudkan.
Melihat kehadiran lelaki tersebut dan mengerti kondisi yang dialami oleh lelaki tersebut, kami pun bergegas menawarkan bantuan kepada beliau. Salah seorang karyawan DD kemudian berkata, "Pak, apa yang bisa DD lakukan, untuk bisa membantu Bapak?" Lelaki tersebut kemudian menjawab, "Saya mohon DD membantu saya satusaja, mohon DD membelikan saya satu buah mesin ketik."
Mendengar ungkapan bahwa lelaki itu ingin dibelikan mesin ketik, karyawan DD pun bertanya lagi, "Mohon maaf Bapak, apakah anak Bapak ada yang sedang ditugasi menulis paper atau makalah, seperti itu?" Lelaki itu pun menjawab lagi, "Oh, bukan, mesin ketik itu bukan untuk anak saya, tapi untuk saya, saya biasa mengetik kok mendengar jawaban tersebut."
Karyawan DD pun terperanjat, sehingga terucap, "Mengetik dengan...." Spontan lelaki itu pun menjawab, "Saya biasa mengetik dengan kaki saya."
Seterusnya lelaki itu pun melanjutkan, "Kalau Bapak berjalan-jalan di kawasan Pasar Senen, di sana akan terlihat banyak kios-kios jasa mengetik, salah satunya adalah kios saya. Saya biasa melayani jasa mengetik. Cuma selama ini mesin ketiknya punya toke saya. Sehingga hasilnya dibagi dua. Saya bermimpi, jika saya punya mesin ketik sendiri, mungkin hasilnya jadi lebih besar."
Mendengar penuturan lelaki itu, tiba-tiba saja terasa ada pukulan keras menghantam ulu hati kita yang mendengarnya. Bagaimana tidak, ada seorang lelaki yang mengalami cacat fisik, yang sesungguhnya teramat pantas dikasihani dan disantuni setiap saat, akan tetapi ternyata yang diharapkannya justru adalah bantuan yang membuatnya bisa tetap berusaha dan produktif.
Lelaki itu bukan ingin dibantu sehingga tergantung pada belas kasihan orang lain, tetapi justru ingin dibantu yang membuatnya mandiri dan tegak di atas kekuatannya sendiri.
Lelaki itu laksana malaikat yang dihadirkan kepada kita untuk menyampaikan pesan agar kita lebih menghargai diri kita dengan berusaha menjadi manusia yang produktif dan mandiri. Karena pada zaman sekarang ini, betapa banyak anak muda, fisiknya utuh, tubuhnya sehat dan kuat, tetapi jiwanya lemah dengan ingin dikasihani dan mengharap iba dari orang lain.
Betapa banyak manusia di dunia ini, yang kondisi fisiknya jauh lebih baik dari bapak tersebut, tetapi hidupnya ingin bergantung kepada belas kasihan dan santunan orang lain.
Kepada bapak tersebut, DD akhirnya membelikan satu buah mesin ketik baru, sambil dalam hati berucap, Terima kasih, Bapak, telah datang dan seolah menasihati kami, sungguh kehadiran Bapak telah membawa kesan mendalam untuk kami.
* Ditulis oleh Ahmad Juwaini, Presiden Direktur Dompet Dhuafa Filantropi