Oleh: Setiawan Chogah
Marketing Communication Dompet Dhuafa Banten
Sobat, pernahkah kalian dikritik, atau malah
sebaliknya suka mengkritik? Dan apakah sobat tahu, ternyata begitu besar efek
dari sebuah kritikan? Berikut akan kita coba kupas apa saja efek yang
disebabkan oleh sebuah kritikan itu.
Begini—dalam beberapa hari terakhir, saya belajar
banyak hal tentang kritik-mengkritik. Dimulai dari seorang sahabat yang curhat
kepada saya mengenai judul skripsinya yang ditolak mentah-mentah oleh dosen
pembimbing, sampai cerita seorang teman tentang laporan praktikum yang wajib
revisi dari asisten. Tanggapan mereka menunjukkan satu keseragaman setelah
menerima dua hal berbeda namun sama, sama-sama sebuah penolakan.
Sahabat saya yang pertama mengungkapkan perasaannya melalui status-status galau di Facebook. Status yang bermuatan kesedihan dan putus asa. Sedangkan sahabat yang kedua, dengan muka marah memperlihatkan laporan praktikumnya yang penuh coretan ‘tak senonoh’ pada saya. Saya jadi berpikir, ternyata begitu besar efek yang disebabkan oleh sebuah kritikan.
Kritik memang sesuatu hal yang ‘menyenangkan’ bagi si
pengkritik. Bagaimana saya berani menulis begini? Oh, tentu-sebab saya sendiri
pun pernah merasa bangga setelah mengkritik. Rasanya sesuatu banget!
Padahal, kalau kita mau melihat akibat yang
ditimbulkan oleh sebuah kritikan, tentu kita akan lebih berhati-hati dalam
memberikan kritikan.
Begini, Sob. Sahabat saya yang kedua tadi, di
laporannya tertulis kata-kata yang mengungkapkan ketidaknyamanan, marah, dan
tidak senang seorang asisten terhadap laporan yang dibuat praktikannya. Kalimat
pernyataan revisi yang ditulis caps lock,
ukuran tulisan yang tidak lazim, dan kalau dibaca sungguh membuat setan-setan
terbangun. Kalimat yang mengalirkan energi negatif, menyulut api dendam, dan
membuat semangat yang sempat jatuh menjadi semakin terpuruk. Down!
Kisah dua sahabat saya hanya sebagian kecil dari efek
negatif sebuah kritikan yang disampaikan dengan tidak sehat. Kita perlu lagi
belajar, setidaknya mengetahui kalau kata-kata yang kita ucapkan, yang kita tuliskan
meberikan efek luar biasa terhadap sisi kejiwaan seseorang.
Mungkin sobat sudah tahu mengenai sebuah penelitian
yang pernah dilakukan terhadap dua toples nasi. Pada toples yang satu
dituliskan kata-kata “kamu pintar, cerdas, cantik, baik, rajin, sabar, aku
sayang padamu, aku senang sekali melihatmu, aku ingin selalu di dekatmu, dan
terima kasih”, sedangkan toples yang kedua dituliskan kata-kata “kamu bodoh,
goblok, jelek, jahat, malas, pemarah, aku benci melihatmu, aku sebel tidak mau
dekat dekat kamu.”
Lalu kedua toples tersebut diletakkan di tempat yang
sering terlihat, dan setiap orang yang lewat mengucapkan kata-kata yang
tertulis pada kedua toples tersebut. Dan apa yang terjadi?
Efek dari kata-kata itu benar-benar mengejutkan. Nasi
dalam toples yang dibacakan kata-kata negatif ternyata cepat sekali berubah
menjadi busuk dan berwarna hitam dengan bau yang tidak sedap. Sedangkan nasi
yang dibacakan kata-kata positif masih berwarna putih kekuningan dan baunya
harus seperti ragi.
Dua toples nasi setelah percobaan dilakukan. |
Penelitian sejenis pun pernah dilakukan seorang
peneliti dari Hado Institute di Tokyo pada tahun 2003, Masaru Emoto.
Pada penelitiannya, Emoto mengungkapkan suatu keanehan pada
sifat air. Melalui pengamatannya terhadap lebih dari dua ribu contoh foto
kristal air yang dikumpulkannya dari berbagai penjuru dunia, Emoto menemukan
bahwa partikel molekul air ternyata bisa berubah-ubah tergantung perasaan
manusia di sekelilingnya, yang secara tidak langsung mengisyaratkan pengaruh
perasaan terhadap klasterisasi molekul air yang terbentuk oleh adanya ikatan
hidrogen. Emoto juga menemukan bahwa partikel kristal air terlihat menjadi indah
dan mengagumkan apabila mendapat reaksi positif di sekitarnya, misalnya dengan
kegembiraan dan kebahagiaan. Namun partikel kristal air terlihat menjadi buruk
dan tidak sedap dipandang mata apabila mendapat efek negatif di sekitarnya,
seperti kesedihan dan bencana. Lebih dari dua ribu buah foto kristal air
terdapat di dalam buku Message from Water
yang dikarangnya sebagai pembuktian kesimpulannya sehingga hal ini berpeluang
menjadi suatu terobosan dalam meyakini keajaiban alam. Emoto menyimpulkan, partikel
air dapat dipengaruhi oleh suara musik, doa-doa, dan kata-kata yang ditulis dan
dicelupkan ke dalam air tersebut.
Begitu dahsyatnya pengaruh dari reaksi yang
diperlakukan pada sebuah benda. Percobaan-percobaan tadi hanya dilakukan pada
benda mati. Bayangkan apa yang akan terjadi dengan anak-anak kita, pasangan
hidup kita, rekan-rekan kerja kita, dan orang-orang di sekeliling kita, bahkan
binatang dan tumbuhan di sekeliling kita pun akan merasakan efek yang
ditimbulkan dari getaran-getaran yang berasal dari pikiran, dan ucapan yang
kita lontarkan setiap saat kepada mereka.
Maka sebaiknya selalulah sadar dan bijaksana dalam
memillih kata-kata yang akan keluar dari mulut kita, kata-kata yang kita tulis,
demikian juga kendalikanlah pikiran-pikiran yang timbul dalam batin kita.
Saatnya kita bertanya pada diri kita, sudahkan kita berpikiran, berkata-kata,
berbahasa dengan menyalurkan energi positif? Kita tidak perlu mencari contoh
jauh-jauh. Perhatikan diri kita, jabatan kita yang selalu kita anggap sebuah
prestige yang harus dihormati, kekuasaan kita yang memungkinkan kita untuk
memberi kritik pada mereka yang membutuhkan jasa kita. Kita sebagai asisten
laboratorium yang kerap menemui laporan pratikan yang tidak sesuai prosedur,
sebagai pemimpin redaksi yang acap menemukan naskah yang acak-kadut, kita yang
sebagai dosen atau guru yang dihadapkan pada peserta didik yang terlanjur kita
cap ‘bodoh’, dan yang paling sering kita lupa, kita sebagai warga negara sering
kali sesuka hati mengkritik pemerintah yang dinilai tidak becus. Apa salahnya
kritikan-kritikan itu kita sampaikan dengan cara-cara terdidik, well educated, sopan, dan yang jelas
membawa pengaruh positif bagi mereka yang kita kritik.
Bayangkan, ketika kritikan kita membuat mereka
bersemangat, tentu ini akan menjadi ladang pahala bagi kita. Padahal, Islam
telah mengajarkan pada kita adab dalam mengkritik. Salah satu contoh paling
sederhana dan begitu dekat dengan kita, ketika kita shalat berjamaah, dan imam
melakukan kesalahan dalam bacaan ataupun gerakan shalat, agama telah
mengajarkan cara yang begitu santun dan indah. Mengucapkan ‘Subhanallah’,
semuanya dikembalikan kepada Allah, tidak asal berkata-kata, apalagi kata-kata
yang menjatuhkan.
Coba kita pelajari lagi kandungan surah Al-Baqoroh
ayat 83 ini:
…serta
ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian
kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling. (QS.
Al-Baqoroh; 83)
Ayo, Sob. Kita budayakan mengkritik secara santun dan
membangun pengaruh positif bagi orang-orang yang kita kritik. (*)
Setiawan
Chogah
Aktivis Dompet Dhuafa Banten
Artikel ini pernah dimuat di Majalah Sabili, No.5,
Desember 2011
0 komentar:
Posting Komentar