Oleh: Fadmin Prihatin Malau
ZAKAT
berasal
dari bahasa Arab artinya bersih, suci, tumbuh, berkah, dan baik. Bersih dan
suci maknanya membersihkan harta, membersihkan diri pemilik harta dari dengki
dan tamak. Zakat menurut ajaran Agama Islam bearti mengeluarkan sejumlah harta
tertentu yang diberikan kepada yang berhak menerimanya berdasarkan ketentuan
ditetapkan Syari’at Islam.
Hukum
zakat adalah wajib (fardhu) setelah memenuhi syarat sebagaimana firman Allah
Swt. dalam Al Qur’an surah At Taubah ayat 103 yang artinya, “Ambillah dari
harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka dan berdo’alah untuk
mereka. Sesungguhnya do’amu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka.
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Kemudian
firman Allah Swt. dalam Al Qur’an surah Az Dzariyat ayat 19 yang artinya, “Dan
pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak meminta.”
Perintah
Allah Swt. membayar zakat agar harta yang dimiliki menjadi bersih dan suci.
Andai tidak membayar zakat maka harta itu menjadi kotor karena bercampur dengan
yang haram.
Pertanian
sumber pendapatan dan ekonomi karena dengan memiliki tanah dan tanaman membuat
seseorang itu menjadi kaya maka wajib dikeluarkan zakatnya yakni zakat
pertanian sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al Qur’an surah Al Baqarah ayat
267 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk
lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
Lantas
Allah Swt. berfirman dalam Al Qur’an surah Al An’am ayat 141 yang artinya, “Dan
Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung,
pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang
serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya
(yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari
memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin) dan janganlah kamu
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan.”
Zakat Pertanian dan Perkebunan
Zakat Pertanian dan Perkebunan
Zakat
hasil pertanian apabila diairi dengan air hujan, sungai, mata air maka 10
persen dan apabila diairi dengan cara disiram, pakai irigasi maka zakatnya 5
persen sesuai dengan hadist Nabi Muhammad Saw. dari Salim Ibnu Abdullah, dari
ayahnya r.a, bahwa Nabi Saw. bersabda yang artinya, "Tanaman yang disiram
dengan air hujan atau dengan sumber air atau dengan pengisapan air dari tanah,
zakatnya sepersepuluh dan tanaman yang disiram dengan tenaga manusia, zakatnya
seperduapuluh." (H.R. Bukhari. Menurut riwayat Abu Dawud).
Sedangkan
nishab zakat tanaman buah-buahan sebesar lima wisq, sesuai dengan hadits Nabi
Muhammad Saw. yang artinya, “Yang kurang dari lima wisq tidak wajib zakat.”
Ukuran
satu wisq = 60 sha’ dan satu sha’ menurut ukuran Madinah adalah 4 mud adalah 5
rithl dan sepertiganya sekitar 2176 gr atau 2,176 Kg maka satu nishab itu
adalah 300 sha’ x 2,176 = 652,8 kg dan dibulatkan menjadi 653 Kg. Bila tanaman
buah-buahan menghasilkan diatas 653 kg wajib dikeluarkan zakatnya.
Sementara
zakat perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kakao (cokelat), kopi dan tanaman
perkebunan lainnya tidak dijelaskan secara rinci dalam Al Qur’an dan hadist
Nabi Muhammad Saw. sehingga para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya.
Pendapat
pertama para ulama tanaman keras atau tanaman perkebunan masuk dalam kategori
zakat pertanian sebagaimana pendapat Abu Hanifah mewajibkan zakat bagi seluruh
yang keluar dari muka bumi dan tidak disyaratkan haul (berlangsung satu tahun)
dan nishab, artinya sedikit dan banyak harus dikeluarkan zakatnya.
Sedangkan
jumhur ulama Syafi’i, Ahmad bin Hambali, Maliki berpendapat semua tanaman yang
mengenyangkan (memberi kekuatan) bisa disimpan (padi, kelapa sawit, jagung dan
lainnya) dan diolah manusia wajib dikeluarkan zakatnya.
Pendapat
kedua para ulaman tanaman keras atau tanaman perkebunan tidak termasuk zakat
pertanian karena tidak disebutkan dalam hadist dan tidak pula termasuk makanan
pokok tetapi jika hasil tanaman perkebunan itu dijual maka masuk dalam zakat
perdagangan dan wajib dikeluarkan zakatnya 2,5 persen dari aset yang ada dengan
syarat terpenuhi nishab seharga 85 gram emas dan berlaku satu tahun.
Jika
pendapat pertama menghitung zakatnya berdasarkan jumlah produksi bila sudah
melebihi nishab 653 kg wajib dikeluarkan zakatnya. Perkebunan yang tidak
menggunakan pupuk dan tidak diairi sebesar 10 persen, sedangkan yang
menggunakan pengairan dan pupuk sebesar 5 persen.
Jika pendapat kedua menghitungnya berdasarkan penjualan dari hasil perkebunan itu dan apa bila selama setahun melebihi hishab 85 gram emas wajib dikeluarkan zakatnya. Contohnya harga jual Tandan Buah Segar (TBS) tiap panen Rp 1.500 per kg dan total panen setiap bulan 4.000 kg TBS maka jumlah pendapatan = Rp 1.500 x 4.000 kg x 12 bulan = Rp 72.000.000,-
Sementara dikeluarkan upah panen selama setahun, pengeluaran pembelian pupuk dan pestisida selama setahun Rp. 15.000.000,- maka pendapatan setahun Rp 72.000.000 – Rp 15.000.000,- = Rp 57.000.000,- per tahunnya maka apa bila harga emas pada saat perhitungan zakat 1 gram emas =Rp 500.000,- maka nishabnya 85 x Rp 500.000,- = Rp 42.500.000,- dan wajib dikeluarkan zakatnya 2,5 persen x Rp. 57.000.000 = Rp 1.425.000,-
Jika pendapat kedua menghitungnya berdasarkan penjualan dari hasil perkebunan itu dan apa bila selama setahun melebihi hishab 85 gram emas wajib dikeluarkan zakatnya. Contohnya harga jual Tandan Buah Segar (TBS) tiap panen Rp 1.500 per kg dan total panen setiap bulan 4.000 kg TBS maka jumlah pendapatan = Rp 1.500 x 4.000 kg x 12 bulan = Rp 72.000.000,-
Sementara dikeluarkan upah panen selama setahun, pengeluaran pembelian pupuk dan pestisida selama setahun Rp. 15.000.000,- maka pendapatan setahun Rp 72.000.000 – Rp 15.000.000,- = Rp 57.000.000,- per tahunnya maka apa bila harga emas pada saat perhitungan zakat 1 gram emas =Rp 500.000,- maka nishabnya 85 x Rp 500.000,- = Rp 42.500.000,- dan wajib dikeluarkan zakatnya 2,5 persen x Rp. 57.000.000 = Rp 1.425.000,-
Dari
dua pendapat ulama ini bila dilihat dari segi ekonomi, hitung-hitungannya
memang berbeda. pendapat pertama zakat pertanian berdasarkan jumlah kiloan
panen melebihi nishab 653 kg. Pendapat kedua zakat pertanian berdasarkan laba
bersih atau keuntungan bersih pada panen melebihi nishab zakat perdangan 85
gram emas.
Terserah
kita mau mempergunakan pendapat ulama pertama atau pendapat ulama kedua. Namun,
penulis lebih cenderung pendapat ulama pertama karena firman Allah Swt. dalam
Al Qur’an surah Al Baqarah ayat 267 yang artinya, “Hai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya,
padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
Allah Swt. menyebutkan, “Kami keluarkan dari bumi untuk kamu,” memiliki makna adalah jumlah produksi pertanian, bukan kepada harga jual dari produksi pertanian. Masih dalam surah Al Baqarah ayat 267 itu Allah Swt. juga mengatakan, “Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.”
Akhirnya terpulang kembali kepada kita masing-masing untuk mendapatkan yang terbaik dalam menunaikan zakat perkebunan.
Wallahu A’lam Bis Sawab.
Allah Swt. menyebutkan, “Kami keluarkan dari bumi untuk kamu,” memiliki makna adalah jumlah produksi pertanian, bukan kepada harga jual dari produksi pertanian. Masih dalam surah Al Baqarah ayat 267 itu Allah Swt. juga mengatakan, “Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.”
Akhirnya terpulang kembali kepada kita masing-masing untuk mendapatkan yang terbaik dalam menunaikan zakat perkebunan.
Wallahu A’lam Bis Sawab.
Fastabiqul
Khairat.
(*Penulis Dosen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan.
0 komentar:
Posting Komentar